Mudah sekali berkata-kata. Merangkainya membentuk frasa atau kalimat. Lengkap atau tak lengkap. Lontaran pasti mengandung makna. Kenapa bisa berbeda-beda? Darimana asalnya kata? Kenapa ada bahasa?
Percakapan singkat membicarakan anak muda yang mengalami kecelakaan lalu lintas tidak lain karena mabuk saat berkendara. Lantas menyebutnya dia mati. Bandingkan dengan orang itu tewas seketika. Beliau meninggal dunia. dia wafat ditempat. Beliau telah gugur.
Setiap makna terkesan berbeda. Huruf-hurufnya adalah bentuk penghargaan dan penobatan. Krisis kata-kata membuat ungkapan baik yang terlontar mahal harganya. Entah pengusaha kata mana yang menimbunnya. Atau tambang kata sudah semakin langka. Dan pemerintah memberhentikan subsidi kata. Semua satu arti tapi beda makna. Ah dalam kalimat itupun secara etimologi arti sama dengan makna. Tapi kubuat beda. Kembali. Mati memberi aksen kurang berarti. Jika kurang berarti tidak maka mati memberi kesan tidak berarti. Ambil generalnya mati,tewas, meninggal dunia, wafat dan gugur membentuk suatu polisemi. Berlaku majas ameliorasi dan peyorasi. Berlaku pula hukum relativitas Einstein. Kata mati bisa saja relatif peyorasi terhadap orang yang nyawanya melayang lantaran merampok, memperkosa dan membunuh orang kemudian dia bunuh diri. Kata mati terlalu halus.
Sadar atau tidak manusia hidup untuk mendapatkan kata. Kata-kata akhir yang tidak dapat didengar secara biologis. Mungkin bisa secara magis. Kesimpulan mana yang akan disandang. Dengan dan seperti apa kita membayar.
No comments:
Post a Comment